Tradisi Suronan Perlambang Kearifan Lokal di Jantung Peradaban Jawa
Kamis,
18 Juli 2024 ~ Oleh Baihaqi Aditya ~ Dilihat 660 Kali
Oleh: 1) Hanin Nafi’ Rosida (Jurnalistik Smansade, XI-9)
2) Manisa Fitri Minawati (Junralistik Smansade, XI-7)
Disunting oleh: Baihaqi Aditya, S.Pd
SmansadeUpdate- Religi, akulturasi dan filosofi. Tiga kata yang melekat dalam setiap detak kehidupan peradaban di Nusantara. Bagi masyarakat Nusantara, setiap laku hidup dan pandangan tentang kehidupan disimbolkan melalui unsur keagamaan, penggabungan budaya dan memiliki pemaknaan yang mendalam. Salah satunya melalui tradisi yang sampai saat ini masih mengakar kuat pada jantung peradaban masyarakat muslim di Jawa. Suronan.
Sebagian besar masyarakat Jawa meyakini bahwa malam Satu Suro merupakan malam istimewa. Tradisi Suro adalah tradisi turun-temurun masyarakat suku Jawa yang berpegang pada warisan para leluhur. Kata “Suro” merupakan salah satu nama bulan dalam Tahun Saka atau kalender jawa. Bulan Suro dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai bulan istimewa. Mereka menghindari hal-hal besar yang menyangkut kehidupan mereka dalam bulan tersebut. Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan nuansa hikmat.
Sebagai salah satu wilayah yang memiliki porsi besar membangun peradaban Islam di Pulau Jawa pada masa lampau, daerah Demak juga masih melestarikan tradisi warisan dari era pemerintahan Sultan Agung Honyokrokusumo (1613-1645) tersebut. Grebeg Suro dan Kirab Budaya adalah contohnya. Seperti yang terjadi Minggu silam, 7 Juli 2024 oleh Yayasan Kyai Ageng Giri Pondok Pesantren Girikusumo, desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak.
Semburat cahaya matahari menerangi jalannya prosesi grebeg suro dan kirab budaya. Masyarakat tampak antusias menyaksikan tiap prosesi acara itu. Perjalanan dimulai dari masjid Pesantren Girikusumo Baitul Salam hingga menuju ke makam leluhur. Kirab ini mengarak berbagai elemen masyarakat, termasuk sesepuh Kasepuhan Girikusumo, abdi dalem Kasepuhan Girikusumo, dewan adat Girikusumo, serta ‘sepasukan’ khusus seperti: Pasukan Songo dan Pasukan Patang Puluh yang bertugas membawa kendi berisi air suci Girikusumo. Pusaka peninggalan dari leluhur pesantren juga ikut dibawa yang sudah dikemas dalam sebuah kotak. Selain itu juga terdapat empat gunungan dan satu tumpeng yang menjadi daya tarik dari tradisi ini. Gunungan tersebut berisi hasil bumi yang nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat karena diyakini membawa keberkahan.
Sebagai hiburan, dimeriahkan dengan sambutan pasukan pembawa bendera dan kelompok musik tradisional untuk memeriahkan suasana.
Budaya jawa memiliki ritual adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda di setiap daerahnya, budaya atau adat istiadat ini tidak sembarang diciptakan. Leluhur menciptakannya melalui pertimbangan dan penuh makna yang indah. Sebagai generasi muda, seyogyanya memang memiliki tanggungjawab melestarikan budaya dan mempunyai rasa cinta terhadap budaya sekitar.
Tradisi Suronan di Demak tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Perayaan ini bukan hanya sekadar seremonial, tetapi juga upaya nyata dalam merawat warisan budaya yang kaya makna. Dalam konteks modern, Suronan di Demak juga beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi aslinya.
Suronan 1446 H menjadi momen untuk merefleksikan perjalanan hidup, memperkuat ikatan sosial, dan menjaga keharmonisan dengan alam. Melalui pelestarian tradisi ini, masyarakat Demak tidak hanya merawat warisan budaya, tetapi juga mengukuhkan identitas mereka sebagai bangsa yang kaya akan kearifan lokal.
Tradisi Suronan mengajarkan bahwa dalam menghadapi tantangan zaman, nilai-nilai kebersamaan, penghormatan terhadap leluhur, dan harmonisasi dengan alam tetap relevan dan penting untuk dijaga. Semoga tradisi ini terus lestari dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang. (HNR/MFM/BA/Hum).
Sekolah Budaya Feature