; ; ;

SMA Negeri 1 Demak

Jl. Sultan Fatah No. 85 Demak

Maju Bersama Hebat Semua

IDUL FITRI BERCORAK NUSANTARA DAN PERBANDINGAN DENGAN KAWASAN JAZIRAH ARABIA

Kamis, 13 Mei 2021 ~ Oleh Baihaqi Aditya ~ Dilihat 868 Kali

SMANSADE- Gema takbir mulai terdengar saling bersahutan selepas ibadah salat isya’ pada malam tanggal 12 Mei 2021. Menandakan bahwa Ramadhan tahun ini akan segera berakhir dan berganti dengan sukacita datangnya Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 Hijriah. Hari Raya Idul Fitri atau untuk lingkup nasional lebih dikenal dengan Lebaran, selalu memiliki berbagai sisi unik untuk ditelisik.

SMA Negeri 1 Demak, salah satu instansi pendidikan menegah atas yang berlokasi di Kota Wali dan sebagian besar civitas akademiknya muslim juga turut merayakan datangnya momen hari raya yang ditunggu-tunggu selama setahun sekali tersebut dengan ciri khas negeri tercinta. Tulisan kali ini akan mengupas hal-hal khusus yang terjadi pada saat Idul Fitri di tanah air dan disaat yang bersamaan mengetahui pula bagaimana budaya Lebaran di wilayah Timur Tengah sebagai cakrawala diyakininya muncul Islam.

Pertama, perayaan takbir keliling. Sebelum wabah pandemi COVID-19 melanda, malam sebelum Idul Fitri, masyarakat berbagai daerah di Indonesia merayakannya dengan diadakan takbir keliling kota. Selain itu, masjid-masjid dan berbagai surau pun melantunkan takbir semalam suntuk. Dimulai selepas isya’ hingga menjelang didirikannya salat ied. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah. Dilansir dari kumparan.com/kenapa-lebaran-ramai-di-indonesia-tapi-sepi-di-arab, negeri-negeri di kawasan tersebut tidak mengenal budaya pawai takbir keliling. Sebagai gantinya, lantunan takbir dikumandangkan di masjid-masjid besar mulai dini hari.

Kedua, halal bi halal atau dalam bahasa jawa disebut unjung-unjung atau secara nasional dikenal dengan saling bersilaturahmi. Intisari ulasan dari jejakpiknik.com merangkum bahwasanya budaya saling mengunjungi pada masyarakat muslim Indonesia cakupannya lebih luas. Tidak hanya keluarga besar, melainkan juga tetangga disekitar tempat tinggal. Hal ini agak berbeda dengan praktek yang marak terjadi misal di Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Yaman. Kegiatan silaturahmi saling memaafkan selepas salat ied sebagian besar hanya difokuskan untuk sanak famili terdekat.

Ketiga, sajian khas. Kuliner utama seperti opor ayam, sambal ati, lengkap dengan lontong, ketupat dan lepet biasanya tersaji di meja makan sebagai menu “wajib” masyarakat Indonesia, khususnya Jawa  ketika momen Idul Fitri tiba. Agak berbeda dengan sajian ala Timur Tengah dalam menyambut Ied Mubarak. Merujuk pada tulisan Prof. Sumanto Al-Qurtuby, warga negara Indonesia yang sudah lama tinggal di Arab Saudi dengan menjadi dosen senior antropologi budaya King Fahd University of Petrolum&Minerals. Pada tulisannya, ia menuturkan bahwa budaya kuliner masyarakat Arab Saudi ketika menyambut Idul Fitri yaitu menggunakan daging domba dalam olahan utamanya untuk dijadikan campuran padi mandi lamb (nasi biryani) dan shuwa (pepes domba). Pemilihan daging domba menjadi prioritas utama dan populer karena beberapa hal seperti jumlahnya melimpah, ukurannya tidak sebesar unta tetapi lebih besar dari ayam dan dapat digunakan dalam partai besar. Sudah menjadi hal umum jika masyarakat Jazirah Arab porsi konsumsinya banyak.

Keempat, pemberian angpau untuk wilayah Indonesia atau eidiyah bagi penduduk Timur Tengah. Dicatut dari salah satu artikel pada situs www.nu.or.id, pada saat hari raya, baik di Indonesia maupun Timur Tengah, sama-sama berbagi kebaikan dengan memberikan beberapa lembar nominal uang. Biasanya dilakukan oleh orang dewasa yang sudah bekerja untuk menyenangkan sanak familinya yang masih mengenyam bangku pendidikan.

Kelima, budaya mudik. Budaya pulang kampung alias mudik ketika Idul Fitri tidak begitu familiar bagi mayoritas masyarakat muslim yang berada di Jazirah Arab. Momen hari raya digunakan untuk berkumpul dengan keluarga terdekat dan melancong ke tempat-tempat wisata. Tentu saja hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Tradisi mudik erat kaitannya dengan “ritual wajib” ketika Lebaran tiba. Laman historia.id menjabarkan statemen sejarawan Muhammad Yuanda Zara bahwa fenomena mudik mulai membumi dan populer di Nusantara pada tahun 1950-an. Episentrumnya adalah Ibukota Jakarta. Para pekerja-perantau memanfaatkan libur Lebaran untuk dapat kembali ke daerahnya masing-masing untuk bertemu dan sungkem kepada keluarganya. Suatu hal yang langka, berharga, dan akan selalu menjadi agenda tahunan menyertai perayaan Idul Fitri. Mudik telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam khasanah ciri khas budaya masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, terlepas dari beberapa aspek yang membedakan perayaan Idul Fitri di Indonesia dengan Jazirah Arabia dikarenakan faktor budaya, sejatinya memiliki makna yang sama. Yakni memaknai hari raya sebagai dorongan untuk menjadi personal-personal yang lebih baik dari tahun ke tahun dengan menguatkan dan mempertebal rasa kemanusiaan, kebersamaan, rendah hati, saling memaafkan dan persaudaraan. (BA/Cr/Hum).

Sekolah Feature Idul Fitri
  1. TULISAN TERKAIT