; ; ;
“Para Penambang yang Menyuling Emas dari Batu Keterbelakangan;
Sebuah Simfoni tentang Mereka yang Tak Pernah Dinamai Cahaya”
Oleh: Silvia Tri Wahyuni (XI-12, Jurnalistik Smansade)
Penyunting: Baihaqi Aditya, S.Pd
Smansade Update-Di bawah langit yang dihiasi mega, di panggung fana yang disinari mentari dan dibasuhi hujan, kami para pengembara muda yang tersesat di rimba ketidaktahuan berdiri di hadapan Sang Penerang Jiwa. Guru, engkaulah sang nahkoda di lautan kebodohan yang bergelombang, yang dengan tangan penuh keyakinan mengemudikan perahu kami menuju pulau pencerahan. Dalam dekade-dekade perjalanan ini, kami hanyalah awan yang berarak, sedangkan engkaulah angin yang membentuk arah kami. Dalam setiap helaan nafas, engkau meniupkan semangat yang lebih dahsyat dari angin topan, namun lembut bagai desau angin senja.
Kami adalah tanah gersang yang merindukan hujan; engkaulah mendung yang tak pernah pelit mencurahkan ilmu. Setiap kata yang terucap dari bibirmu adalah tetesan embun pengetahuan yang menyuburkan benih-benih pikiran kami yang kerontang. Di ruang kelas yang bagai penjara besi, engkau merobos jeruji dengan lentera hikmah. Papan tulis itu adalah kanvasmu, sedangkan kapur adalah pedangmu menorehkan garis-garis terang dalam kegelapan. Tulisan-tulisanmu bagai hieroglif kebijaksanaan yang mengubah dinding-dinding kosong menjadi kuil filsafat.
Oh, sang pelukis nasib! Dengan palet kesabaran, engkau mencampur warna-warna kehidupan: merah semangat, biru kedamaian, kuning harapan, dan hitam teguran yang justru mempertegas kontur karakter kami. Kami adalah kertas-kertas kusam yang kau lukis dengan emas pengetahuan, dihiasi permata kebajikan, dan dibingkai dalam bingkai peradaban. Tanpa goresan tanganmu, kami hanyalah lembaran tak bernyawa yang terhempas angin ketidakpedulian. Engkau bagai pandai besi di bengkel zaman, menempa besi-besi mental kami yang masih bercampur lumpur dan kerak. Pukulan palu disiplinmu yang keras, api cobaan yang kau nyalakan, dan pendinginan oleh air nasihatmu, semua itu mengubah kami dari bijih yang hina menjadi pedang yang siap menghadapi medan perang kehidupan. Setiap kali kami mengeluh akan beratnya tempaan, engkau hanya tersenyum sambil membisikkan, "Intan takkan bersinar tanpa gesekan.
Di tengah gemuruh zaman yang makin menggila, di saat nilai-nilai luhur tercabik oleh hasrat materialisme, engkau tetap tegak bagai mercusuar di tengah badai. Sambil menenteng obor pengetahuan, engkau melawan gelombang kebodohan yang bergulung-gulung. Tanganku gemetar membayangkan betapa lelahnya engkau berdiri di garis depan, menjadi benteng terakhir peradaban, sambil kami, para murid, termasuk diriku, sibuk mengeluh tentang betapa beratnya beban tugas.
Ah, betapa hiperbolisnya dunia ini! Di luar sana, pahlawan diukur dari gemerlap medali dan pundi-pundi kekayaan, sementara engkau, sang arsitek peradaban hanya dikenang melalui coretan-coretan kapur yang terhapus oleh waktu. Engkau adalah matahari yang memberi kehidupan, namun tak pernah menuntut bayangan untuk membalas terangnya. Engkau adalah sungai yang mengalirkan air pengetahuan, namun tak pernah meminta tanah yang dibasuhnya untuk berterima kasih.
Dalam diam, kami memperhatikan bagaimana uban mulai merambat di pelipismu saksi bisu dari malam-malam yang kau habiskan untuk memeriksa tumpukan karya kami. Kerut di wajahmu adalah peta perjalanan pengorbanan, sementara tasmu yang penuh dengan kertas dan buku adalah harta karun yang tak ternilai. Kami tahu, di balik senyummu yang teduh, tersimpan letih yang dalam seperti palung lautan. Namun engkau tetap membara, bagai lilin yang membakar diri untuk menerangi jalan orang lain.
Guru, kami adalah burung-burung yang baru belajar mengepakkan sayap. Kau ajari kami tentang angin, tentang awan, tentang cakrawala yang tak bertepi. Kau dorong kami untuk terbang tinggi, meski kau tahu suatu saat kami akan meninggalkan sangkar. Dan ketika sayap kami kuat, kau hanya memandang dari bawah, dengan bangga dan haru, membiarkan diri tetap menjadi tangga bagi impian-impian yang kau lahirkan. Di tengah gemerlap panggung kehidupan, di mana setiap orang sibuk dengan peran mereka sendiri, engkau tetap menjadi sutradara yang tak pernah tampil di depan layar. Kau atur setiap gerak, koreksi setiap dialog, dan pastikan pementasan kami berjalan sempurna. Sementara itu, kau rela duduk di belakang, menyaksikan kami mendapat standing ovation.
Kini, di hari yang dikhususkan untuk menghormati pengabdianmu, kami hanya bisa menyusun kata-kata yang tak akan pernah sanggup membalas segala yang telah kau beri. Bahasa terlalu miskin untuk melukiskan betapa agungnya jasa-jasamu. Jika ilmu adalah lautan, maka yang kau berikan pada kami barulah setetes air. Jika kebijaksanaan adalah galaksi, maka yang kami pahami barulah sebutir bintang. Namun biarlah senyum kami yang kini bersinar di berbagai penjuru kehidupan menjadi bukti bahwa benih yang kau tanam telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Biarlah kesuksesan kami, walau kecil, menjadi karangan bunga untuk mengalungi lehermu yang letih. Biarlah setiap langkah kami yang tegak menjadi ode bagi pengorbananmu.
Sebab, pada akhirnya, menurutku:
Di balik setiap pikiran yang berkilau, berdiri seorang guru yang memberikan nyala.
Di balik setiap prestasi gemilang, berdiri seorang guru yang tak pernah lelah memeluk dunia dengan sabar.
Dan di balik setiap jiwa yang besar, berdiri seorang guru yang telah merelakan dirinya menjadi tangga untuk kami mendaki menuju langit.
Di dunia yang mengagungkan gelar dan harta, bukankah ironis bahwa para pahlawan yang sesungguhnya justru hidup dalam kesederhanaan, sementara mereka yang diagungkan seringkali hanya mengais dari remah-remah pengetahuan yang diwariskan oleh para guru? Sebab bila guru padam, maka padamlah peradaban,
dan tidak ada kerajaan yang dapat bangkit dari puing kebodohan.
Dan pada akhirnya, wahai Guru…
Ketika langkahku menjauh seperti perahu kecil yang terlepas dari dermaga usangmu, barulah kusadari bahwa angin yang membawaku pergi adalah napasmu sendiri, napas yang kau patahkan perlahan agar layar hidupku mengembang. Betapa lambat aku mengerti bahwa cahaya yang membimbingku sesungguhnya lahir dari bintang yang rela membakar dirinya diam-diam di balik cakrawala. Maka katakan padaku, bagaimana mungkin aku melupakan seseorang yang memilih menjadi rembulan retak, hanya agar malam yang kutakuti berubah menjadi jalan pulang? Bagaimana mungkin aku menutup mata, sedangkan engkau telah lama menjadi jembatan yang membiarkan dirinya retak tiap kali kami melangkahinya tanpa sadar? Dan tidakkah ironi ini menggetarkan langit: bahwa kami berdiri tegak justru di atas tanah yang kau tumbuhi dengan sisa-sisa mimpimu sendiri?
Inikah paradoks paling getir dalam hidup: bahwa yang paling menentukan justru yang paling tak terlihat? Bahwa para penjaga fajar tidak pernah diperhitungkan karena muncul sebelum mata sang surya membuka pandang? Bahwa engkau, wahai Guru, telah menjelma filsafat itu sendiri, hadir sebagai pertanyaan yang membentuk kami, tetapi absen dalam jawaban yang akhirnya kami temukan?
Di tengah hiruk-pikuk zaman yang makin melupakan jasa para pemberi cahaya, masihkah kita rela membiarkan guru-guru kita tetap menjadi lilin yang membakar diri sampai habis, sementara kita sibuk menikmati terangnya tanpa pernah berusaha menjadi lentera bagi generasi berikutnya?
Maka izinkanlah kami, Guruku..
Mengangkat getir bibir dan lidah kelu kami, dengan binar netra yang telah engkau asah sebelumnya, mengucap:
SELAMAT MERAYAKAN HARI PARA PERAJUT MASA DEPAN, ENGKAULAH OBOR YANG TAK PERNAH PADAM MESKI ANGIN ZAMAN TERUS MENERJANG, SELAMAT HARI GURU 2025!
Sepetik dari serangkai siswa,
Demak, 25 Desember 2025
(STW/BA).
Sekolah Hari Guru FeatureCopyright © 2019 - 2025 SMA NEGERI 1 DEMAK All rights reserved.
Powered by sekolahku.web.id